𝙱𝚞𝚕𝚎𝚝𝚒𝚗 𝙺𝚊𝚏𝚏𝚊𝚑 𝙴𝚍𝚒𝚜𝚒 422 -14 𝙹𝚞𝚖𝚊𝚍𝚊 𝚊𝚕-𝙰𝚔𝚑𝚒𝚛𝚊𝚑 1447𝙷/5 𝙳𝚎𝚜𝚎𝚖𝚋𝚎𝚛 2025
𝗕𝗘𝗡𝗖𝗔𝗡𝗔 𝗦𝗨𝗠𝗔𝗧𝗘𝗥𝗔:
𝗔𝗞𝗜𝗕𝗔𝗧 𝗨𝗟𝗔𝗛 𝗠𝗔𝗡𝗨𝗦𝗜𝗔-𝗠𝗔𝗡𝗨𝗦𝗜𝗔 𝗥𝗔𝗞𝗨𝗦
𝗗𝗔𝗡 𝗞𝗘𝗕𝗜𝗝𝗔𝗞𝗔𝗡 𝗣𝗥𝗢-𝗞𝗔𝗣𝗜𝗧𝗔𝗟𝗜𝗦
Sumatera menangis. Banjir besar melanda tiga provinsi di pulau tersebut: Aceh, Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Diperkirakan korban meninggal sudah mencapai lebih dari 600 jiwa. Ratusan korban lainnya masih dalam pencarian. Banjir juga menenggelamkan sejumlah desa serta menghancurkan kawasan pemukiman dan berbagai infrastruktur di tiga provinsi tersebut.
Banjir bandang ini juga melanda sejumlah negeri lain di Asia Tenggara; Thailand, Malaysia, Vietnam, Sri Lanka dan Myanmar. Akan tetapi, sejauh ini Indonesia merupakan negara dengan korban jiwa terbanyak.
𝙄𝙠𝙡𝙞𝙢 𝙀𝙨𝙠𝙩𝙧𝙚𝙢 𝙙𝙖𝙣 𝙋𝙚𝙧𝙪𝙨𝙖𝙠𝙖𝙣 𝘼𝙡𝙖𝙢
Banjir besar ini memang disebabkan oleh hujan ekstrem. Pemicunya adalah siklon tropis Senyar dan Koto yang terjadi di Selat Malaka. Akibatnya, sejumlah kawasan terdampak curah hujan yang sangat tinggi. Menurut BMKG, siklon ini berlangsung pada tanggal 26 November selama 48 jam. BMKG menyebut kemunculan dua siklon tersebut sebagai kejadian “pertama dalam sejarah”. Ia tumbuh di Selat Malaka. Wilayah ini sebelumnya diyakini mustahil menjadi lokasi pembentukan siklon karena terlalu dekat garis ekuator.
Akan tetapi, curah hujan ekstrem ini berubah menjadi bencana banjir. Pasalnya, di kawasan tersebut jutaan area hutan—sebagai penahan curah hujan—sudah hilang. Banyak pihak menduga deforestasi alias pembabatan/pembalakan hutan yang masif menjadi penyebab utama bencana di tiga provinsi tersebut.
Berdasarkan data WALHI, selama periode 2016-2025, deforestasi di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat mencapai 1,4 juta hektar. Selain itu, banyak izin usaha diberikan oleh Pemerintah untuk kegiatan pengelolaan sumberdaya alam (SDA) di Pegunungan Bukit Barisan. Di antaranya sektor pertambangan, perkebunan sawit dan proyek energi. WALHI mencatat ada lebih dari 600 perusahaan di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat yang kegiatan eksploitasi SDA-nya memperparah kerapuhan infrastruktur ekologis.
Penebangan liar atau illegal loging di hutan-hutan Sumatera secara besar-besaran juga dicurigai menjadi penyebab deforestasi. Hanyutnya ribuan batang pohon yang terbawa banjir menjadi bukti kuat aksi pembalakan liar berjalan di kawasan Sumatera.
𝙈𝙞𝙩𝙞𝙜𝙖𝙨𝙞 𝘽𝙚𝙣𝙘𝙖𝙣𝙖
Indonesia adalah negara yang memiliki curah hujan tinggi dan terletak di cincin bencana (ring of fire). Di sini ada rangkaian gunung berapi sepanjang 40.000 km dan situs aktif seismik yang membentang di Samudra Pasifik. Artinya, negeri ini mestinya sudah memiliki kemampuan mitigasi yang memadai. Tentu demi melindungi rakyatnya. Termasuk membekali penduduk dengan kemampuan untuk menghadapi bencana.
Sayangnya, musibah banjir yang menimpa Sumatera memperlihatkan ketidaksiapan negara dalam mitigasi bencana. Padahal delapan hari sebelum bencana, BMKG sudah melaporkan bahwa akan terjadi hujan ekstrem dengan curah tinggi.
Saat bencana terjadi, tampak negara tidak berdaya melakukan mitigasi. Bahkan sampai hari ini kejadian bencana di tiga provinsi di Sumatera masih tidak dinyatakan sebagai bencana nasional. Apalagi pada awal kejadian bencana, pihak BNPB menyatakan tragedi banjir itu hanya mencekam di medsos.
Sampai tulisan ini dibuat masih banyak daerah terisolir. Masih banyak mayat bergeletakan atau terkubur lumpur, longsoran, bangunan dan gelondongan kayu. Karena kelaparan, sebagian warga terpaksa menjarah toko. Tim Basarnas mengungkapkan bahwa tim SAR gabungan yang telah bertugas selama tujuh hari nonstop dalam operasi tanggap darurat mulai mengalami kondisi kelelahan ekstrem.
𝙎𝙖𝙗𝙖𝙧 𝙙𝙖𝙣 𝙈𝙪𝙝𝙖𝙖𝙨𝙖𝙗𝙖𝙝