*DUA REALITAS SALAFISME*
Dalam kesadaran masyarakat Arab kontemporer, telah lama beredar gambaran stereotip yang sempit tentang Salafisme, seolah-olah ia hanyalah fenomena wacana yang bising dan keras.
Gambaran itu biasanya diwujudkan dalam sosok berwajah masam, yang memahami agama hanya sebatas daftar larangan siap pakai: jenggot, celana di atas mata kaki, cadar, jenis pekerjaan, dan sejenisnya, disertai perdebatan populis di dalam masjid.
Sejak dekade 1980–1990-an, banyak orang awam yang bertambah religius dengan memelihara jenggot bukan karena kesadaran epistemologis atau keterikatan pada mazhab pemikiran tertentu, melainkan sebagai bentuk keberagamaan umum.
Mereka bahkan tidak mengenal apa itu Salafisme, apalagi berniat bergabung dengan suatu sistem keilmuan yang terstruktur. Mereka sekadar menemukan kaset-kaset dan buku-buku keagamaan yang datang dari Arab Saudi, lalu mengambil darinya apa yang mereka anggap sebagai agama, dan menjadikannya rujukan dalam praktik keberagamaan sehari-hari.
Dari sinilah muncul ketegangan-ketegangan populer. Seseorang mendengar seorang ulama besar, seperti Ibnu ‘Utsaimin misalnya, mengatakan bahwa “perbuatan tertentu adalah bid‘ah”, lalu dengan kebodohan ia langsung melakukan pengingkaran di masjid tanpa memahami kaidah amar ma’ruf nahi munkar dan fikih perbedaan pendapat.
Ketika ditanya sumber ucapannya, ia mengibaskan nama sang syekh. Akhirnya, perilaku kasar itu justru dinisbatkan secara tidak adil kepada Ibnu ‘Utsaimin dan ulama semisalnya, padahal sang syekh sendiri tidak mengingkari orang yang berbeda pendapat berdasarkan ijtihad yang mu'tabar, bahkan beliau menganjurkan orang awam agar mengikuti ulama di negeri mereka dan tradisi fikih setempat.
Citra mental tentang Salafisme populis ini telah menutupi sebuah sejarah intelektual yang jauh lebih tenang dan matang, sejarah yang berkontribusi besar dalam membentuk perkembangan pemikiran dan riset ilmiah di dunia Islam kontemporer.
Pada saat seorang Salafi awam yang lugu dan berwajah masam sibuk mengingkari orang di masjid, ada seorang filsuf Salafi yang tenang dan ramah, Dr. Muhammad Rashad Salim, yang sedang meneliti dan menyunting karya-karya teologis Ibnu Taimiyah, lalu menerbitkannya dalam edisi ilmiah yang diakui oleh lembaga resmi Mesir dan dimanfaatkan oleh para akademisi.
Pada masa yang sama, ada Dr. Mustafa Hilmi yang membangun filsafat moral dari dalam khazanah Salafi; Mahmud Mazru‘ah yang memadukan kritik intelektual dengan riset akademik; serta Ja‘far Syaikh Idris yang menggabungkan iman dengan filsafat ilmu modern.
Ketika forum “Ana al-Muslim” menjadi simbol populisme dangkal, ada “Multaqa Ahl al-Hadits” yang mempertemukan para peneliti unggulan dari Arab Saudi, Maroko, Mauritania, dan lainnya, untuk berdiskusi serius tentang bahasa Arab, akidah, dan persoalan-persoalan ushul yang rumit, mewakili puluhan tahun tradisi keilmuan klasik. Arsip forum ini tetap menjadi rujukan berharga bagi pendukung maupun pengkritik, bahkan setelah forum itu meredup.
Di balik sosok Salafi yang dianggap kaku, ada pula jalur Salafi yang tenang yang melahirkan proyek-proyek perintis dalam digitalisasi warisan Islam, seperti “Maktabah Syamilah”, jauh sebelum universitas-universitas memahami arti digitalisasi. Proyek besar ini dikerjakan oleh individu-individu, dan dimanfaatkan oleh Salafi, Asy‘ari, sufi, serta mahasiswa pascasarjana Al-Azhar, Dar al-‘Ulum, fakultas hukum dan sastra, tanpa terkecuali.
Dulu, peneliti harus bersusah payah membeli buku atau mendatangi perpustakaan untuk membandingkan edisi cetakan. Proyek ini hadir dengan puluhan ribu kitab lintas disiplin, memudahkan penelitian secara luar biasa, lalu diwakafkan untuk Allah dan disediakan gratis, padahal jika dikelola lembaga resmi, mungkin akan dijadikan layanan berbayar mahal.